Sumber Gambar: muslims-life.net
Islamhealthology.site, Bandung- Kesehatan saat ini ibarat komoditas langka dan sulit didapat, kalaupun tersedia masyarakat harus mengeluarkan banyak biaya. Islam memandangnya sebagai jaminan bagi warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, termasuk jaminan bagi warga negara untuk menyatakan haknya jika ada yang dirugikan. Bagaimana seharusnya negara menerapkan kebijakan kesehatan bagi masyarakatnya berdasarkan perspektif Islam? Jadi bagaimana umat Islam memandang kebutuhan kesehatan? Rasulullah SAW menjelaskan: “Barangsiapa diantara kalian pada pagi hari sehat jasmani, aman jiwa, jalan dan rumah,cukup makanannya pada hari itu, maka dianggap ia telah mendapat rezeki dunia” (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrad).
Dalam hadis ini, kesehatan disamakan dengan kebutuhan makanan. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan juga mempunyai status sebagai kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi. Lalu siapa yang akan menjamin layanan medis ini? Negara mempunyai tanggung jawab untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut. Nabi bersabda: “Imam (Khalifah) itu ibarat seorang penggembala dan dia bertanggung jawab terhadap umatnya (HR al-Bukhari). Kegagalan dalam menjamin atau menjamin kesehatan dan pengobatan akan mendatangkan dharar (penderitaan) bagi masyarakat. Dharar harus dihilangkan. Nabi bersabda: “Janganlah kamu membahayakan orang lain atau dirimu sendiri” (HR Malik). Baiklah, cukup konsep dan teorinya, sekarang mari kita lihat bagaimana hal ini dilakukan pada masa Khilafah Islam.
Sejarah Kesehatan dalam Islam
Kebijakan pelayanan kesehatan gratis dan berkualitas ini telah diterapkan sejak kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Delapan orang dari Urainah datang ke Madinah dan menjadi warga kerajaan. Mereka kemudian menderita masalah limpa. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk merawat mereka di tempat pengurungan yaitu di tempat penggembalaan milik Baitul Mal di Dzi Jidr menuju Quba, tidak jauh dari unta-unta Baitul Mal (perbendaharaan negara) yang sedang merumput di sana. Mereka minum susu dan tinggal di sana sampai sembuh. Suatu hari, raja Mesir, Muqaugis, memperkenalkan seorang dokter kepada Nabi. Ia kemudian meyakinkan bahwa dokter tersebut akan melayani setiap warga secara gratis.
Khalifah Umar bin al-Khatthab menggalang dana untuk penderita kusta di Suriah dari Baitul Mal. Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah membangun rumah sakit untuk mengobati penderita penyakit kusta, kusta, dan kebutaan. Dokter dan perawat yang merawat mereka dibayar oleh Baitul Mal, bukan dari uang pasien. Will Durant dalam The Civilization Story pernah menjelaskan: Islam mengamankan dan mempersiapkan banyak rumah sakit agar dapat beroperasi secara efektif dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Misalnya Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus pada tahun 1160, telah berdiri selama tiga abad untuk merawat masyarakatnyasakit tanpa ingatan dan memberikan obat gratis. Para sejarawan mengatakan cahayanya terus bersinar tanpa redup selama 26 tahun. Menurut Dr. Hossam Arafa, dalam karyanya Hospitals in Islamic History, pada akhir abad ke-13, rumah sakit telah menyebar ke seluruh Jazirah Arab.
Untuk pertama kalinya di dunia, rumah sakit ini mulai menyimpan data pasien dan rekam medis. Konsep ini saat ini digunakan oleh rumah sakit di seluruh dunia.Beberapa diantaranya bahkan termasuk rumah sakit keliling. Di bawah Kekhalifahan Abbasiyah, banyak rumah sakit dibangun di Bagdad, Kairo dan Damaskus. Saat itu, untuk pertama kalinya ada rumah sakit keliling (sejenis ambulans). (Bapak Husain Abdullah, Demsat fi al-Fikri al-Islami).Semua itu didukung oleh tim medis profesional, termasuk dokter, perawat, dan apoteker. Di sekitar rumah sakit, didirikan sekolah kedokteran. Rumah sakit saat ini juga menjadi tempat pertukaran ilmu kedokteran bagi mahasiswa kedokteran dan menjadi pusat perkembangan dunia kesehatan dan kedokteran pada umumnya. Dokter jaga dan dokter praktek adalah dokter yang mempunyai kualifikasi profesi tertentu.
Khalifah al-Muqtadi dari Bani Abbasiyah memerintahkan Sinan Ibn Tsabit, kepala dokter Istana, untuk menyeleksi 860 dokter yang ada di Baghdad. Hanya mereka yang lulus seleksi yang ketat yang dapat praktik di RS. Khalifah juga memerintahkan Abu Osman Said Ibnu Yaqub untuk melakukan seleksi serupa di Damaskus, Makkah, dan Madinah. Apotik pertama kali dibuka pada masa Khilafah Abbasiyah. Ibnu al-Baithar adalah yang paling terkenal. Saat itu, para apoteker tidak diizinkan untuk bekerja sebagai apoteker tanpa mendapat lisensi dari negara. Para apoteker itu mendatangkan obat-obatan dari India dan negara lain, lalu mereka melakukan berbagai penemuan dan inovasi untuk menemukan obat baru.
Oleh karena itu, negara harus memberikan hak rakyat untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan dan pengobatan. Dengan demikian, negara harus memberikan pelayanan kesehatan berkualitas tinggi, gratis, atau semurah mungkin, kepada warganya. Pengelolaan kesehatan ini harus dialihkan dari manajemen berbasis perusahaan atau swasta ke manajemen berbasis negara.
Nilai dan Makna
Menurut Islam, kesehatan adalah karunia Allah Swt yang harus disyukuri. Sehat juga sangat diinginkan oleh semua manusia berakal. Tak seorang pun yang tidak ingin tetap sehat untuk memenuhi tugas dan kewajiban hidup. Meskipun nikmat merupakan kebutuhan fitrah manusia, Allah, tetapi banyak orang yang mengabaikan dan melupakan nikmat sehat ini. Rasulullah saw berkata, "Ada dua nikmat yang banyak dilupakan manusia, yaitu nikmat sehat dan peluang kesempatan" (HR Imam Bukhari).
Akibatnya, kesehatan adalah salah satu tanggung jawabnya di hadapan pengadilan Allah, seperti yang ditunjukkan dalam Menurut hadis Nabi Muhammad, "Nikmat pertama yang ditanyakan kepada setiap hamba pada hari Kiamat adalah "Tidakkah telah Kami sehatkan badanmu dan telah Kami segarkan (kenyangkan) kamu dengan air yang sejuk?" (HR Imam Tirmizi). Dalam surat al-Takatsur ayat 8, firman Allah, "(Kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu kenikmatan)," beberapa ulama tafsir mengartikan kenikmatan sebagai nikmat sehat.
Perintah dan anjuran untuk menjaga kebersihan adalah salah satu perhatian Islam terhadap kesehatan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ulama fiqh selalu memulai diskusi mereka dengan "Bab Thaharah", yang berarti kebersihan, bersih dari hadas besar dengan mandi junub atau hadas kecil dengan berwudhu, dan bebas dari najis dan kotoran.
Penulis: Rifqi Muhammad Rofiqi
0 Komentar